- See more at: http://cacinx-ams.blogspot.com/2013/07/cara-mudah-membuat-breaking-news-di-blog.html#sthash.OjhI7zSd.dpuf
  • L3
Home » » PERKEMBANGAN WILAYAH PROBOLINGGO

PERKEMBANGAN WILAYAH PROBOLINGGO

Postinger by Unknown on Minggu, 08 Juni 2014 | 15.02

Kerajaan Singasari (1222-1292)

Berdasarkan Prasasti Mula-Malurung, wilayah Probolinggo menjadi bagian dari Kerajaan Singosari dibawah Raja Saminingrat (Wisnuwardana) tahun 1248-1254. Wilayah itu menjadi bagian dari Lumajang yang diperintah oleh Nararya Kirana, raja bawahan Singasari hingga masa raja Kertanegara. (1254-1293). Pada periode itu, nama-nama daerah baik pada tingkatan dusun, wanua, kuwu, hingga watek masih belum muncul di wilayah Probolinggo. Status wilayah Probolinggo masih dibawah kendali raja bawahan Singosari di Lumajang.
2. Masa Majapahit
Pada masa Majapahit posisi Probolinggo terletak di wilayah Wirabhumi (Balambangan), yang menurut Negara Kertagama di bawah Natha (Gubernur) Nagarawardhani, dan dalam Prasasti Suradakan : Rajasawardhana Indudewi Dyah Pureswari.
Di wilayah Wirabhumi atau Blambangan ini kita coba telusuri munculnya nama-nama wilayah atau komunitas berdasarkan informasi Negara Krtagama. Negara Krtagama, Pupuh 3: mengkisahkan tentang perjalanan Hayam Wuruk ke wilayah Timur pada tahun 1359 M. Yang menarik dari Kakawin itu adalah adanya upaya inventarisasi nama-nama wilayah oleh Prapanca. Dari Negara Krtagama diketahui bahwa ketika Hayam Wuruk sampai di wilayah Probolinggo, Prapanca mencatat nama-nama desa dan kuwu. Nama Banger, Sagara, Pajarakan, Gendhing, Buluh, Gedhe, Arya, Bermi (Baremi), Keboncandi, Sajabung, dan Pabayeman. Ketika Raja Hayam Wuruk sampai di Desa Jabungsisir, sang raja menghadiahkan sebidang tanah perdikan, dan sebuah candi Budha kepada Tumenggung Nala yang berkuasa di Jabungsisir. Dalam Pararaton, juga disebutkan jika di daerah Sajabung (kini Jabungsisir) bangunan suci itu (candi) adalah Abiseka Bajranaparamitapura. Ketika rombongan raja meninjau sebuah komunitas keagamaan mandhala di daerah Tongas (Probolinggo), di sana melakukan upacara keagamaan di kuil setempat, serta menerima upeti dari sebelas komunitas Budhis, dan tiga desa pegunungan Lumbang, Pancur, dan Trenggilis. “Pada zaman pemerintahan Prabu Radjasanagara (Sri Nata Hayam Wuruk) Raja Majapahit yang ke IV (1350-1389 M) Probolinggo dikenal dengan nama “Banger” nama sungai yang mengalir di tengah banger ini. Banger merupakan pedukuhan kecil dibawah pemerintahan Akuwu di Sukodono. Nama Banger dikenal di buku Negarakertagama yang ditulis oleh Pujangga kerajaan Majapahit yang dikenal yaitu Prapanca” (Basri, 2004:9).
Dalam upaya mendekatkan diri dengan rakyatnya, maka Prabu Hayam Wuruk dengan didampingi Patih Amangku Bumi Gadjah Mada melakukan perjalanan keliling ke daerah-daerah antara lain Lumajang dan Bondowoso. Perjalanan tersebut dimaksudkan agar Sang Prabu dapat melihat sendiri bagaimana kehidupan masyarakat di pedesaan dan sekaligus melihat sejauhmana perintahnya dapat dilaksanakan oleh para pembantunya. Dalam perjalanan inspeksi tersebut Prabu Hayam Wuruk singgah di desa Banger, desa Baremi, dan desa Borang. Desa tersebut sekarang ini menjadi bagian wilayah administrasi Kecamatan Mayangan Kota Probolinggo (Kelurahan Sukabumi, Mangunharjo, Wiroborang).
Singgahnya Prabu Hayam Wuruk di desa Baremi, Banger dan Borang, disambut masyarakat sekitar dengan penuh sukacita. Pada hari Kamis Pahing (Respati Jenar) tanggal 4 september 1359 Masehi, Prabu Hayam Wuruk memerintahkan kepada rakyat Banger agar memperluas Banger dengan membuka hutan yang ada di sekitarnya yang selanjutnya akan dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Perintah itulah yang akhirnya menjadi landasan sejarah hari lahirnya Kota Probolinggo.
Sejalan dengan perkembangan politik kenegaraan/kekuasaan di zaman Kerajaan Majapahit, pemerintahan di Banger juga mengalami perubahan-perubahan/perkembangan seirama dengan perkembangan zaman. Semula merupakan pedukuhan kecil di muara kali Banger, kemudian berkembang manjadi Pakuwon yang dipimpin oleh seorang Akuwu, di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit. Pada saat Bre Wirabumi (Minakjinggo), Raja Blambangan berkuasa, Banger yang merupakan perbatasan antara Majapahit dan Blambangan, dikuasai pula oleh Bre Wirabumi. Bahkan Banger menjadi kancah perang saudara antara Bre Wirabumi (Blambangan) dengan Prabu Wikramawardhana (Majapahit) yang dikenal dengan “Perang Paregreg”. Adapun Nama Banger ini diberikan karena airnya berbau amis/Banger karena darah Menak Jinggo yang dipenggal kepalanya oleh Raden Damarwulan.

3. Masa Kerajaan Supit Urang (Sengguruh) Abad XVI-XVII)
Kerajaan Supit Urang sering disebut Sengguruh. Sesudah runtuhnya kerajaan Majapahit pada 1527, di Sengguruh untuk beberapa lama masih berlaku kekuasaan keturunan patih Majapahit, yang (menurut Tome Pires sebagai Gusti Pate) pada hari-hari terakhir kerajaan itu masih berkuasa. Kerajaan-kerajaan di Jawa Timur, menurut penulis Portugis itu pada sekitar tahun 1515 diperintah oleh anak laki-laki Gusti Pate dari Sengguruh. Sengguruh tunduk pada kekuasaan maharaja Hindu. Pusat pemerintahannya terletak di bagian hulu sungai Brantas, di Malang Selatan. Menurut cerita tutur Jawa, di Sengguruh inilah terjadi pertempuran terakhir melawan tentara Islam oleh para pengikut atau keluarga patih Majapahit terakhir yang belum masuk Islam. Mengenai soal ini terdapat kesesuaian antara Serat Kandha, babad Sangkala, dan cerita tutur Jawa. Menurut Rouffaer, kerajaan itu merupakan kelanjutan dari kerajaan Singasari. Wilayahnya meliputi: Pasuruan, Malang dan Probolinggo.
Beberapa ahli ada yang menduga bahwa pusat kerajaan ini di daerah pegunungan Tengger. Sebuah kenyataan adalah bahwa hari-hari masa lalu di Probolinggo dalam keterangan sering muncul istilah kerajaan Supit Urang, di mana Probolinggo termasuk wilayahnya pada jaman dahulu. Kebanyakan orang yakin bahwa pusat kerajaan ini terletak di Tengger.
Supit Urang pada tahun 1639 dihancurkan dalam penyerangan Sultan Agung ke Blambangan dan penduduknya diangkut ke Mataram sebagian sebagai tawanan. Sebelumnya pada tahun 1587 Pasuruan ditaklukan oleh Senopati dari Mataram. Di sini sebuah kerajaan didirikan di bawah kekuasaan Mataram, yang menggunakan sebagai pintu gerbang bagi para Sultan Islam dalam penyerangan dan penaklukan mereka atas Blambangan. Berulang kali pasukan Mataram dalam gerakan militernya melewati Probolinggo. Ini dimulai pada tahun 1597 ketika perang meledak antara raja-raja Pasuruan dan Blambangan. Pada tahun 1599 Panarukan direbut oleh Pasuruan dan dihancurkan, pada kesempatan ini di sana sebuah rumah paderi Portugis Capucijner dihacurkan.
 

4. Masa Kerajaan Blambangan- Hindia Belanda (XVI-XX)
Wilayah Blambangan raya semula hanya dikenal pusat pemerintahannya saja yaitu di Lamajang pada zaman Kameswara. Luasnya meliputi garis pegunungan Tengger ke Timur batas Selat Bali. Kemudian Blambangan Raya ini lebih dikenal dengan nama Wirabhumi pada zaman Majapahit, karena pada masa Raja Hayam Wuruk, wilayah itu dibawah raja bawahan Bre Wirabhumi. Sejak Majapahit diperintah oleh Dyah Ranawijaya (1486-1527), nama Wirabhumi sudah tenggelam, sebagai gantinya muncul nama Blambangan dengan luas wilayah sebelah barat berbatasan garis Gunung Semeru-Tengger ke Selat Bali. Blambangan saat itu diperintah oleh Dinasti Mas Sembar yang masih di bawah kekuasaan Majapahit dengan ibukota Panarukan (1600 M).
Pada masa kejayaan Pangeran Tawangalun (Dinasti Mas Sembar) luas Blambangan mencakup batas barat Blitar-Malang ke Utara hingga Banger ke Timur Selat Bali. Namun sejak akhir pemerintahan Tawangalun, sekitar tahun 1690 M. Luas wilayah Blambangan telah menciut. Beberapa wilayahnya melepaskan diri, termasuk di dalamnya Banger. Banger telah dikuasai oleh Dinasti Jayalelana dari Buleleng sampai tahun 1767, yang kemudian menjadi Probolinggo di bawah Pemerintahan VOC.
 

Menurut Surat GG. Reineir de Klerk kepada Raja Belanda tertanggal Batavia/Jayakarta, 31 Desember 1781, Banger (Probolinggo) di bawah pemerintahan Tumenggung Jayanegara yang merangkap pula sebagai Bupati Lumajang. Bupati ini menggantikan Bupati Jayalelana Brayung pada tahun 1767.
Pada tahun 1850, wilayah Blambangan wilayahnya dibagi tiga bagian. Bagian Barat adalah Kabupaten Probolinggo, bagian Tengah Kabupaten Besuki, dan bagian Timur Kabupaten Banyuwangi. Kabupaten Probolinggo terdiri dari tiga bagian, yaitu Probolinggo, Lamajang, dan Kraksan. Bagian Probolinggo terdiri dari 5 distrik yaitu : Kota Probolinggo, Sumber Kareng, Tongas, Tengger, dan Dringu. Bagian Lamajang terdiri 3 distrik : Kota Lamajang, Kandangan, dan Ranu Lamongan. Bagian Kraksan terdiri dari 5 distrik : Gendhing, Pajarakan, Kota Kraksan, Jabung dan Paiton. Pada tahun 1905, pada masa Hindia Belanda, wilayah Blambangan telah dipecah menjadi 6 Kabupaten yaitu : Banyuwangi, Panarukan, Bondowoso, Jember, Probolinggo, dan Lumajang.

5. Masa Kerajaan Surapati Abad XVII-XVIII
Surapati, keturunan Bali, putra budak, bekas perwira dalam militer VOC, pada tahun 1686 mendirikan kerajaannya di Pasuruan. Wilayah ini membentang atas daerah Blambangan seperti Panarukan, Lumajang dan Malang. Jadi kerajaan ini juga mencakup Probolinggo. Kemudian (1717) Pasuruan kembali melepaskan diri, namun Probolinggo, Panarukan, Lumajang dan Malang tetap berada di tangannya.
Surapati dan para putra dan cucunya, yang menggantikannya tetap menjadi orang Bali, memeluk Hindu, bersumpah untuk selalu menentang Kompeni dengan segala cara. Dengan Blambangan mereka berhubungan baik; saling mengikat perkawinan dan persahabatan. Raja-raja Blambangan bersama dengan Surapati menjadi ancaman bagi Kompeni. Orang-orang Blambangan hanya ingin melepaskan diri dari pengaruh Bali.
 

6. Masa Kerajaan Mataram Abad XVI-XVIII
Pada Abad XVI-XVII, Kabupaten Probolinggo dikuasai Kerajaan Mataram setelah Sultan Agung melancarkan ekspansi terhadap wilayah Blambangan (1635). Walaupun Blambangan kemudian melancarkan aksi-aksi untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mataram bantuan dari Bali. Aksi-aksi tersebut baru dapat dipadamkan pada tahun 1640. Pada masa Kerajaan Mataram struktur pemerintahan pada dasarnya tidak berbeda dengan masa Majapahit. Raja sebagai penguasa tertinggi berada di pusat kerajaan, dibawahnya terdapat bupati wedana yang merupakan pengawas dan koordinator para bupati, bupati/adipati pengusa kabupaten, demang pemimpin kademangan, petinggi sebagai kepala desa dan pedukuhan yang dipimpin kepala dukuh. Wilayah Mataram dibagi dalam susunan: kraton, kuthagara (ibukota), negaragung, mancanegara (dan pasisiran). Mancanegara dan pesisiran dibedakan wetan dan kilen, dengan demikian terdapat mancangara wetan, mancanegara kilen, pesisiran wetan, pesisiran kilen. Posisi Probolinggo terletak di pesisiran wetan berdasarkan struktur yang ada.
 

Pada masa Pemerintahan VOC, setelah kompeni dapat meredakan Mataram, dalam perjanjian yang dipaksakan kepada Sunan Pakubuwono II di Mataram, seluruh daerah di sebelah Timur Pasuruan (termasuk Banger) diserahkan kepada VOC pada tahun 1743. Untuk memimpin pemerintahan di Banger, pada tahun 1746 VOC mengengkat Kyai Djojolelono sebagai Bupati Pertama di Banger, dengan gelar Tumenggung. Kabupatennya terletak di Desa Kebonsari Kulon. Kyai Djojolelono adalah putera Kyai Boen Djolodrijo (Kiem Boen), Patih Pasuruan. Patihnya Bupati Pasuruan Tumenggung Wironagoro (Untung Suropati). Kompeni (VOC) terkenal dengan politik adu dombanya. Kyai Djojolelono dipengaruhi , diadu untuk menangkap/membunuh Panembahan Semeru, Patih Tengger, keturunan Untung Suropati yang turut memusuhi kompeni. Panembahan Semeru akhirnya terbunuh oleh Kyai Djojolelono. Setelah menyadari akan kekhilafannya, terpengaruh oleh politik adu domba kompeni, Kyai Djojolelono menyesali tindakannya. Kyai Djojolelono mewarisi darah ayahnya dalam menentang/melawan kompeni. Sebagai tanda sikap permusuhannya tersebut, Kyai Djojolelono kemudian menyingkir, meninggalkan istana dan jabatannya sebagai Bupati Banger pada tahun 1768, terus mengembara/lelono.
 
Sebagai pengganti Kyai Djojolelono, kompeni mengangkat Raden Tumenggung Djojonegoro, putra Raden Tumenggung Tjondronegoro, Bupati Surabaya ke 10 sebagai Bupati Banger kedua. Rumah kabupatennya dipindahkan ke Benteng Lama. Kompeni tetap kompeni, bukan kompeni kalau tidak adu domba. Karena politik adu domba kompeni, Kyai Djojolelono yang tetap memusuhi kompeni ditangkap oleh Tumenggung Djojonegoro. Setelah wafat, Kyai Djojolelono dimakamkan di pasarean “Sentono”, yang oleh masyarakat dianggap sebagai makam keramat.
Di bawah pimpinan Tumenggung Djojonegoro, daerah Banger tampak makin makmur, penduduk tambah banyak. Beliau juga mendirikan Masjid Jami’ (± Tahun 1770). Karena sangat disenangi masyarakat, beliau mendapat sebutan “Kanjeng Djimat”. Pada tahun 1770 nama Banger oleh Tumenggung Djojonegoro (Kanjeng Djimat) diubah menjadi “Probolinggo” (Probo : sinar, linggo : tugu, badan, tanda peringatan, tongkat). Probolinggo : sinar yang berbentuk tugu, gada, tongkat (mungkin yang dimaksud adalah meteor/bintang jatuh). Setelah wafat Kanjeng Djimat dimakamkan di pasarean belakang Masjid Jami.
Share this post :
Comments
0 Comments