Kerajaan Singasari (1222-1292)
Berdasarkan Prasasti Mula-Malurung, wilayah Probolinggo menjadi bagian dari Kerajaan Singosari dibawah Raja Saminingrat (Wisnuwardana) tahun 1248-1254. Wilayah itu menjadi bagian dari Lumajang yang diperintah oleh Nararya Kirana, raja bawahan Singasari hingga masa raja Kertanegara. (1254-1293). Pada periode itu, nama-nama daerah baik pada tingkatan dusun, wanua, kuwu, hingga watek masih belum muncul di wilayah Probolinggo. Status wilayah Probolinggo masih dibawah kendali raja bawahan Singosari di Lumajang.
2. Masa Majapahit
Pada
masa Majapahit posisi Probolinggo terletak di wilayah Wirabhumi (Balambangan),
yang menurut Negara Kertagama di bawah Natha (Gubernur) Nagarawardhani,
dan dalam Prasasti Suradakan : Rajasawardhana Indudewi Dyah Pureswari.
Di wilayah Wirabhumi atau Blambangan
ini kita coba telusuri munculnya nama-nama wilayah atau komunitas berdasarkan informasi
Negara Krtagama. Negara Krtagama, Pupuh 3: mengkisahkan tentang perjalanan
Hayam Wuruk ke wilayah Timur pada tahun 1359 M. Yang menarik dari Kakawin itu
adalah adanya upaya inventarisasi nama-nama wilayah oleh Prapanca. Dari Negara
Krtagama diketahui bahwa ketika Hayam Wuruk sampai di wilayah Probolinggo,
Prapanca mencatat nama-nama desa dan
kuwu. Nama Banger,
Sagara, Pajarakan, Gendhing, Buluh, Gedhe, Arya, Bermi (Baremi), Keboncandi,
Sajabung, dan Pabayeman.
Ketika Raja Hayam Wuruk sampai di Desa Jabungsisir, sang raja
menghadiahkan sebidang tanah perdikan, dan sebuah candi Budha kepada Tumenggung
Nala yang berkuasa di Jabungsisir. Dalam Pararaton, juga disebutkan jika di
daerah Sajabung (kini Jabungsisir) bangunan suci itu (candi) adalah Abiseka
Bajranaparamitapura. Ketika rombongan raja meninjau sebuah
komunitas keagamaan mandhala di
daerah Tongas (Probolinggo), di sana melakukan upacara keagamaan di kuil
setempat, serta menerima upeti dari sebelas komunitas Budhis, dan tiga desa
pegunungan Lumbang, Pancur, dan Trenggilis.
“Pada zaman pemerintahan Prabu Radjasanagara (Sri Nata Hayam Wuruk) Raja
Majapahit yang ke IV (1350-1389 M) Probolinggo dikenal dengan nama “Banger”
nama sungai yang mengalir di tengah banger ini. Banger merupakan pedukuhan
kecil dibawah pemerintahan Akuwu di Sukodono. Nama Banger dikenal di buku
Negarakertagama yang ditulis oleh Pujangga kerajaan Majapahit yang dikenal
yaitu Prapanca” (Basri, 2004:9).
Dalam upaya mendekatkan diri dengan
rakyatnya, maka Prabu Hayam Wuruk dengan didampingi Patih Amangku Bumi Gadjah
Mada melakukan perjalanan keliling ke daerah-daerah antara lain Lumajang dan
Bondowoso. Perjalanan tersebut dimaksudkan agar Sang Prabu dapat melihat
sendiri bagaimana kehidupan masyarakat di pedesaan dan sekaligus melihat
sejauhmana perintahnya dapat dilaksanakan oleh para pembantunya. Dalam
perjalanan inspeksi tersebut Prabu Hayam Wuruk singgah di desa Banger, desa
Baremi, dan desa Borang. Desa tersebut sekarang ini menjadi bagian wilayah
administrasi Kecamatan Mayangan Kota Probolinggo (Kelurahan Sukabumi,
Mangunharjo, Wiroborang).
Singgahnya Prabu Hayam Wuruk di
desa Baremi, Banger dan Borang, disambut masyarakat sekitar dengan penuh
sukacita. Pada hari Kamis Pahing (Respati Jenar) tanggal 4 september 1359
Masehi, Prabu Hayam Wuruk memerintahkan kepada rakyat Banger agar memperluas
Banger dengan membuka hutan yang ada di sekitarnya yang selanjutnya akan
dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Perintah itulah yang akhirnya menjadi
landasan sejarah hari lahirnya Kota Probolinggo.
Sejalan dengan perkembangan politik
kenegaraan/kekuasaan di zaman Kerajaan Majapahit, pemerintahan di Banger juga
mengalami perubahan-perubahan/perkembangan seirama dengan perkembangan zaman.
Semula merupakan pedukuhan kecil di muara kali Banger, kemudian berkembang
manjadi Pakuwon yang dipimpin oleh seorang Akuwu, di bawah kekuasaan kerajaan
Majapahit. Pada saat Bre Wirabumi (Minakjinggo), Raja Blambangan berkuasa,
Banger yang merupakan perbatasan antara Majapahit dan Blambangan, dikuasai pula
oleh Bre Wirabumi. Bahkan Banger menjadi kancah perang saudara antara Bre
Wirabumi (Blambangan) dengan Prabu Wikramawardhana (Majapahit) yang dikenal
dengan “Perang Paregreg”. Adapun Nama Banger ini diberikan karena airnya berbau
amis/Banger karena darah Menak Jinggo yang dipenggal kepalanya oleh Raden
Damarwulan.
3. Masa Kerajaan Supit Urang (Sengguruh) Abad XVI-XVII)
Kerajaan
Supit Urang sering disebut Sengguruh. Sesudah runtuhnya kerajaan Majapahit pada
1527, di Sengguruh untuk beberapa lama masih berlaku kekuasaan keturunan patih
Majapahit, yang (menurut Tome Pires sebagai Gusti Pate) pada hari-hari terakhir
kerajaan itu masih berkuasa. Kerajaan-kerajaan di Jawa Timur, menurut penulis
Portugis itu pada sekitar tahun 1515 diperintah oleh anak laki-laki Gusti Pate dari
Sengguruh. Sengguruh tunduk pada kekuasaan maharaja Hindu. Pusat
pemerintahannya terletak di bagian hulu sungai Brantas, di Malang Selatan.
Menurut cerita tutur Jawa, di Sengguruh inilah terjadi pertempuran terakhir
melawan tentara Islam oleh para pengikut atau keluarga patih Majapahit terakhir
yang belum masuk Islam. Mengenai soal ini terdapat kesesuaian antara Serat
Kandha, babad Sangkala, dan cerita tutur Jawa. Menurut Rouffaer, kerajaan itu
merupakan kelanjutan dari kerajaan Singasari. Wilayahnya meliputi: Pasuruan,
Malang dan Probolinggo.
Beberapa ahli ada yang menduga bahwa pusat kerajaan ini di
daerah pegunungan Tengger. Sebuah kenyataan adalah bahwa hari-hari masa lalu di
Probolinggo dalam keterangan sering muncul istilah kerajaan Supit Urang, di
mana Probolinggo termasuk wilayahnya pada jaman dahulu. Kebanyakan orang yakin
bahwa pusat kerajaan ini terletak di Tengger.
Supit
Urang pada tahun 1639 dihancurkan dalam penyerangan Sultan Agung ke Blambangan
dan penduduknya diangkut ke Mataram sebagian sebagai tawanan. Sebelumnya pada
tahun 1587 Pasuruan ditaklukan oleh Senopati dari Mataram. Di sini sebuah
kerajaan didirikan di bawah kekuasaan Mataram, yang menggunakan sebagai pintu
gerbang bagi para Sultan Islam dalam penyerangan dan penaklukan mereka atas
Blambangan. Berulang kali pasukan Mataram dalam gerakan militernya melewati
Probolinggo. Ini dimulai pada tahun 1597 ketika perang meledak antara raja-raja
Pasuruan dan Blambangan. Pada tahun 1599 Panarukan direbut oleh Pasuruan dan dihancurkan,
pada kesempatan ini di sana sebuah rumah paderi Portugis Capucijner dihacurkan.
4. Masa Kerajaan Blambangan- Hindia Belanda (XVI-XX)
Wilayah Blambangan raya semula hanya dikenal pusat
pemerintahannya saja yaitu di Lamajang pada zaman Kameswara. Luasnya meliputi
garis pegunungan Tengger ke Timur batas Selat Bali. Kemudian Blambangan Raya
ini lebih dikenal dengan nama Wirabhumi pada zaman Majapahit, karena pada masa
Raja Hayam Wuruk, wilayah itu dibawah raja bawahan Bre Wirabhumi. Sejak
Majapahit diperintah oleh Dyah Ranawijaya (1486-1527), nama Wirabhumi sudah
tenggelam, sebagai gantinya muncul nama Blambangan dengan luas wilayah sebelah
barat berbatasan garis Gunung Semeru-Tengger ke Selat Bali. Blambangan saat itu
diperintah oleh Dinasti Mas Sembar yang masih di bawah kekuasaan Majapahit
dengan ibukota Panarukan (1600 M).
Pada
masa kejayaan Pangeran Tawangalun (Dinasti Mas Sembar) luas Blambangan mencakup
batas barat Blitar-Malang ke Utara hingga Banger ke Timur Selat Bali. Namun
sejak akhir pemerintahan Tawangalun, sekitar tahun 1690 M. Luas wilayah
Blambangan telah menciut. Beberapa wilayahnya melepaskan diri, termasuk di
dalamnya Banger. Banger telah dikuasai oleh Dinasti Jayalelana dari Buleleng
sampai tahun 1767, yang kemudian menjadi Probolinggo di bawah Pemerintahan VOC.
Menurut Surat GG. Reineir de Klerk kepada Raja Belanda
tertanggal Batavia/Jayakarta, 31 Desember 1781, Banger (Probolinggo) di bawah
pemerintahan Tumenggung Jayanegara yang merangkap pula sebagai Bupati Lumajang.
Bupati ini menggantikan Bupati Jayalelana Brayung pada tahun 1767.
Pada tahun 1850, wilayah Blambangan wilayahnya dibagi tiga
bagian. Bagian Barat adalah Kabupaten Probolinggo, bagian Tengah Kabupaten
Besuki, dan bagian Timur Kabupaten Banyuwangi. Kabupaten Probolinggo terdiri
dari tiga bagian, yaitu Probolinggo, Lamajang, dan Kraksan. Bagian Probolinggo
terdiri dari 5 distrik yaitu : Kota Probolinggo, Sumber Kareng, Tongas,
Tengger, dan Dringu. Bagian Lamajang terdiri 3 distrik : Kota Lamajang,
Kandangan, dan Ranu Lamongan. Bagian Kraksan terdiri dari 5 distrik : Gendhing,
Pajarakan, Kota Kraksan, Jabung dan Paiton. Pada tahun 1905, pada masa Hindia
Belanda, wilayah Blambangan telah dipecah menjadi 6 Kabupaten yaitu :
Banyuwangi, Panarukan, Bondowoso, Jember, Probolinggo, dan Lumajang.
5.
Masa Kerajaan Surapati Abad XVII-XVIII
Surapati, keturunan Bali, putra budak, bekas perwira dalam
militer VOC, pada tahun 1686 mendirikan kerajaannya di Pasuruan. Wilayah ini
membentang atas daerah Blambangan seperti Panarukan, Lumajang dan Malang. Jadi
kerajaan ini juga mencakup Probolinggo. Kemudian (1717) Pasuruan kembali
melepaskan diri, namun Probolinggo, Panarukan, Lumajang dan Malang tetap berada
di tangannya.
6. Masa Kerajaan Mataram Abad XVI-XVIII
Pada
Abad XVI-XVII, Kabupaten Probolinggo dikuasai Kerajaan Mataram setelah Sultan
Agung melancarkan ekspansi terhadap wilayah Blambangan (1635). Walaupun
Blambangan kemudian melancarkan aksi-aksi untuk melepaskan diri dari kekuasaan
Mataram bantuan dari Bali. Aksi-aksi tersebut baru dapat dipadamkan pada tahun
1640. Pada masa Kerajaan Mataram struktur pemerintahan pada dasarnya tidak
berbeda dengan masa Majapahit. Raja sebagai penguasa tertinggi berada di pusat
kerajaan, dibawahnya terdapat bupati wedana yang merupakan pengawas dan
koordinator para bupati, bupati/adipati pengusa kabupaten, demang pemimpin
kademangan, petinggi sebagai kepala desa dan pedukuhan yang dipimpin kepala
dukuh. Wilayah Mataram dibagi dalam susunan: kraton, kuthagara (ibukota),
negaragung, mancanegara (dan pasisiran). Mancanegara dan pesisiran dibedakan
wetan dan kilen, dengan demikian terdapat mancangara wetan, mancanegara kilen, pesisiran
wetan, pesisiran kilen. Posisi Probolinggo terletak di pesisiran wetan
berdasarkan struktur yang ada.
Pada masa Pemerintahan VOC, setelah
kompeni dapat meredakan Mataram, dalam perjanjian yang dipaksakan kepada Sunan
Pakubuwono II di Mataram, seluruh daerah di sebelah Timur Pasuruan (termasuk
Banger) diserahkan kepada VOC pada tahun 1743. Untuk memimpin pemerintahan di
Banger, pada tahun 1746 VOC mengengkat Kyai Djojolelono sebagai Bupati Pertama
di Banger, dengan gelar Tumenggung. Kabupatennya terletak di Desa Kebonsari
Kulon. Kyai Djojolelono adalah putera Kyai Boen Djolodrijo (Kiem Boen), Patih
Pasuruan. Patihnya Bupati Pasuruan Tumenggung Wironagoro (Untung Suropati).
Kompeni (VOC) terkenal dengan politik adu dombanya. Kyai Djojolelono
dipengaruhi , diadu untuk menangkap/membunuh Panembahan Semeru, Patih Tengger,
keturunan Untung Suropati yang turut memusuhi kompeni. Panembahan Semeru
akhirnya terbunuh oleh Kyai Djojolelono. Setelah menyadari akan kekhilafannya,
terpengaruh oleh politik adu domba kompeni, Kyai Djojolelono menyesali
tindakannya. Kyai Djojolelono mewarisi darah ayahnya dalam menentang/melawan
kompeni. Sebagai tanda sikap permusuhannya tersebut, Kyai Djojolelono kemudian
menyingkir, meninggalkan istana dan jabatannya sebagai Bupati Banger pada tahun
1768, terus mengembara/lelono.
Sebagai pengganti Kyai Djojolelono,
kompeni mengangkat Raden Tumenggung Djojonegoro, putra Raden Tumenggung
Tjondronegoro, Bupati Surabaya ke 10 sebagai Bupati Banger kedua. Rumah
kabupatennya dipindahkan ke Benteng Lama. Kompeni tetap kompeni, bukan kompeni
kalau tidak adu domba. Karena politik adu domba kompeni, Kyai Djojolelono yang
tetap memusuhi kompeni ditangkap oleh Tumenggung Djojonegoro. Setelah wafat,
Kyai Djojolelono dimakamkan di pasarean “Sentono”, yang oleh masyarakat
dianggap sebagai makam keramat.
Di bawah pimpinan Tumenggung
Djojonegoro, daerah Banger tampak makin makmur, penduduk tambah banyak. Beliau
juga mendirikan Masjid Jami’ (± Tahun 1770). Karena sangat disenangi
masyarakat, beliau mendapat sebutan “Kanjeng Djimat”. Pada tahun 1770 nama
Banger oleh Tumenggung Djojonegoro (Kanjeng Djimat) diubah menjadi
“Probolinggo” (Probo : sinar, linggo : tugu, badan, tanda peringatan, tongkat).
Probolinggo : sinar yang berbentuk tugu, gada, tongkat (mungkin yang dimaksud
adalah meteor/bintang jatuh). Setelah wafat Kanjeng Djimat dimakamkan di pasarean
belakang Masjid Jami.